Terdapat kebiasaan di masyarakat tatkala seorang ibu melahirkan bayi. Biasanya pihak keluarga akan mengubur ari-ari atau plasenta ketika bayi sudah lahir.
Ari-ari tersebut biasanya dikubur di sudut rumah dekat pintu masuk utama. Tetapi, terdapat beberapa perbedaan perlakuan dalam penguburan ari-ari, tergantung kebiasaan di masing-masing daerah.
Di atas tempat menanam ari-ari biasanya diberi penerangan, bisa lampu minyak atau listrik. Ada juga yang memberi bunga, bahkan beberapa barang berharga di atas tempat penguburan ari-ari, termasuk juga memberikan kurungan.
Lantas, bagaimana Islam memandang kebiasaan ini?
Pada hakikatnya penanaman ari-ari ini dibenarkan dalam Islam bahkan disunnahkan. Akan tetapi menyertakan berbagai benda yang bernilai dianggap tidak baik. Karena termasuk dalam kategori tabdzir (menghamburkan).
Mengenai hukum sunnah mengubur ari-ari terdapat keterangan dalam kitab Nihayatul Muhtaj
وَيُسَنُّ دَفْنُ مَا انْفَصَلَ مِنْ حَيٍّ لَمْ يَمُتْ حَالاًّ أَوْ مِمَّنْ شَكَّ فِي مَوْتِهِ كَيَدِ سَارِقٍ وَظُفْرٍ وَشَعْرٍ وَعَلَقَةٍ ، وَدَمِ نَحْوِ فَصْدٍ إكْرَامًا لِصَاحِبِهَا.
“Dan disunnahkan mengubur anggota badan yang terpisah dari orang yang masih hidup dan tidak akan segera mati, atau dari orang yang masih diragukan kematiannya, seperti tangan pencuri, kuku, rambut, ‘alaqah (gumpalan darah), dan darah akibat goresan, demi menghormati orangnya”.
Adapun tentang haramnya tabdzir sehubungan dengan menyetakan segala benda di lingkungan kubur ari-ari terdapat dalam Hasyiyatul Bajuri:
(المُبَذِّرُ لِمَالِهِ) أَيْ بِصَرْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ (قَوْلُهُ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لاَ يَعُوْدُ نَفْعُهُ إِلَيْهِ لاَ عَاجِلاً وَلاَ آجِلاً فَيَشْمَلُ الوُجُوْهَ المُحَرَّمَةَ وَالمَكْرُوْهَةَ.
“(Orang yang berbuat tabdzir kepada hartanya) ialah yang menggunakannya di luar kewajarannya. (Yang dimaksud: di luar kewajarannya) ialah segala sesuatu yang tidak berguna baginya, baik sekarang (di dunia) maupun kelak (di akhirat), meliputi segala hal yang haram dan yang makruh”.
Demikian keterangan ini diambil dari buku Ahkamul Fuqaha’ Solusi Problematika Umat yang memuat hasil keputusan Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama dari 1926-2010.
(Sumber:blogspot.co.id)